Hari ini adalah hari pertama
kunjungan saya ke Sekolah Master Depok. Meskipun sudah hampir lima tahun
tinggal di Kota Depok, baru kali ini saya berkesempatan mengunjungi sekolah yang
ditujukan untuk para pengamen dan anak jalanan tersebut. Selayaknya sekolah
yang lain, sekolah Master di pagi hari itu sedang ramai dan ada sebuah acara di
suatu ruang terbuka yang seperti aula. Anak-anak bermain dan ibu-ibu menunggui
anak-anaknya. Sebagian anak yang lebih kecil pulang sekolah dan di antaranya
ada yang diantarkan oleh kakek atau neneknya.
Saya pertama kali
mendengar perihal Master saat kepala sekolah Master, Bapak Nurrohim didaulat
menjadi Ikon Pendidikan Majalah Gatra tahun 2012. Di tahun yang sama dimana
Jokowi-Ahok terpilih menjadi Ikon Utama, dan Walikota Bandung yang saat ini
belum dilantik, Ridwan Kamil terpilih menjadi Ikon Partisipasi Publik karena
peranannya di Indonesia Berkebun.
Saat itu saya
bertanya-tanya dan penasaran, seperti apakah Bapak Nurrohim ini? Dari cerita
orang-orang yang memang mengenal beliau, Bapak Nurrohim ini memang orang yang
baik dan layak mendapatkan apresiasi. Ia mengumpulkan anak-anak jalanan untuk
belajar di sebuah masjid di terminal kota Depok. Sejarah hidupnya sendiri dikatakan
adalah anak yang nakal dan tidak mau mengikuti apa kata orang tuanya, bahkan
sampai dikeluarkan dari sekolah. Suatu ketika seorang kiai mendoakannya agar
menjadi guru dan muridnya banyak tapi bandel semua sehingga ia merasakan
menjadi guru.
Di masa dewasanya,
seperti yang ditulis di Majalah Gatra, Bapak Nurrohim menjadi seorang pedagang
di dekat terminal Depok dan menyadari betapa banyaknya anak yang berkeliaran
dan tidak bersekolah. Banyak di antara mereka yang tubuhnya bau dan jarang
mandi. Bagaimana mau mandi, jika untuk sekali mandi saja mereka harus menghabiskan
uang sebesar dua ribu rupiah, sedangkan jika punya uang sebesar tiga ribu
rupiah anak-anak itu lebih suka membelikan nasi bungkus. Keberpihakannya pada
anak-anak tersebut membuatnya kemudian mendirikan suatu wadah berkumpulnya anak
jalanan untuk menimba ilmu yang disebut sekolah Master. Sekolah gratis, yang
menyediakan ujian paket A, B, dan C, dan menerima pelajar sepanjang tahun
ajaran. Sekolah yang alumninya kemudian banyak mendapat beasiswa, dan sekolah
di kota Depok yang saat ini menjadi target CSR berbagai perusahaan terkemuka.
Dan di bulan Juli ini
saya dikejutkan oleh akan digusurnya sekolah Master ini oleh pemerintah kota
Depok. Lebih terkejut lagi saya saat membaca rilis berita di media online yang
menyatakan bahwa Walikota Depok yang terkenal dengan slogan “One Day No Car”
dan “One Day No Rice”-nya itu, Nur Mahmudi Ismail mengatakan bahwa keberadaan
sekolah Master ini menyebabkan bertambah banyaknya anak jalanan di kota Depok. Sejenak
saya berharap apa yang ditulis oleh media tersebut hanyalah kutipan belaka dan
Bapak Walikota Depok yang tercinta itu tidak bermaksud seperti itu. Bahkan
cetusnya sekolah seperti itu tidak perlu ada di dekat terminal, melainkan bisa
digusur ke pinggir kota sehingga mendapatkan tempat yang lebih luas.
Rasa geram saya
membuat saya kemudian menulis ini. Masih lekat dalam ingatan saya canda tawa
siswa sekolah Master tadi pagi. Semangat mereka untuk belajar. Tarikan tangan
seorang nenek mengajak cucunya pulang sekolah. Kalau tidak di sini, mau pindah
kemana sekolah Master? Saya berharap tidak sampai ke pinggir kota, karena
anak-anak tersebut akan sekolah di sekolah yang jauh dari tempat tinggal mereka.
Saya mendengar bahwa pihak sekolah masih mau berjuang agar sekolah Master tidak
jadi digusur untuk digantikan dengan mall dan apartemen yang sebenarnya sudah
tidak dibutuhkan lagi oleh kami, warga Depok. Saya berharap para penguasa masih
punya logika. Ya, untuk hal yang ini saya hanya bisa berharap.
Depok, 17 Juli 2013
15:34
Hesti Farida Al
Bastari
Rujukan:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar