Saya membuat tulisan
ini menjelang akhir masa saya mengikuti sebuah sekolah yang diselenggarakan
oleh perkumpulan Indonesia Corruption Watch. Pada akhir bulan Juni 2013, saya
menjadi satu dari 25 orang yang terpilih untuk menjadi siswa di Sekolah Anti
Korupsi 2013 – SAKTI ICW. Bersama saya, ada anak-anak muda lain dari berbagai
daerah yang juga turut berkomitmen dalam pemberantasan korupsi. Dan yang
membuat saya salut, di tengah apatisme para mahasiswa yang akhir-akhir ini saya
rasakan semakin kuat, ada beberapa teman mahasiswa di antara kami yang masih
meluangkan waktunya untuk peduli pada orang lain.
Saya juga membuat
tulisan ini untuk menyambut teman saya yang baru saja menuliskan statusnya di
dinding Facebook untuk meyakini mata hatinya, dan bukan meyakini mata satunya
icw. Hmm… jawab saya. Di dalam pelatihan yang saya ikuti selama 11 hari ini,
saya ingin berbagi pengalaman saya kepada teman saya tersebut.
ICW lahir dari sebuah
pergerakan sosial masyarakat pasca orde baru. Saat itu, korupsi tersentralisasi
sudah mendarah daging di dalam tubuh pemerintah RI, dan Presiden Soeharto pun
lengser dari jabatannya setelah pergerakan mahasiswa bersama rakyat mengajukan
tuntutan reformasi.
Bertepatan dengan
ultah Jokowi, pada awal Juni 2013 ICW baru saja merayakan ulang tahunnya yang
ke 15. Hal ini berarti sudah 15 tahun lembaga ini secara independen turut
mengawal pemberantasan korupsi di Indonesia. Apakah hal ini berita baik? Sedihnya,
berarti setelah 15 tahun berlalu korupsi masih saja belum hilang dari negeri
kita tercinta ini.
Berita baiknya adalah
saat ini sudah ada instrumen anti korupsi untuk melawan para koruptor yang
semakin canggih melakukan penyelewengan dana dan berselingkuh dengan korporasi
untuk mempengaruhi kebijakan terkait dengan anggaran. Dari sisi pemerintah,
sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, lalu ada Tipikor, Ombudsman,
dan lembaga masyarakat independen seperti ICW yang turut mengawal penegakan
hukum anti korupsi. Lembaga internasional seperti UNODC dari PBB pun sudah
menyatakan dukungannya terhadap gerakan anti korupsi.
Keberadaan pergerakan
ini bukan berarti tanpa perlawanan. Sudah berbagai perlawanan balik dari para
koruptor dan kroni-kroninya yang hendak memberangus gerakan anti korupsi. Beberapa
saat yang lalu ICW mengungkapkan daftar 36 daftar calon sementara yang
diragukan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi. Masuknya 36 daftar
tersebut ditetapkan dengan kriteria-kriteria tertentu. Hal ini tentunya menepis
anggapan bahwa ICW hanya mengusut kasus korupsi di partai tertentu.
Dalam hal investigasi
kasus korupsi, ICW tidak pernah melakukan tebang pilih. Jika pada gilirannya
ada kasus-kasus tertentu yang kemudian sangat ramai dibahas di ranah publik,
tentunya ada media yang berperan besar dalam publikasi kasus korupsi tersebut.
Namun, yang terjadi kemudian adalah perlawanan balik dari orang-orang yang
menganggap bahwa ICW telah melakukan pencemaran nama baik dengan memasukkan
nama mereka ke dalam daftar tersebut. Padahal, bila memang seorang caleg
diragukan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi, hal yang perlu dia
lakukan hanyalah memberikan penjelasan kepada publik bahwa dirinya adalah orang
yang berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi. Jika memang seorang caleg
pernah menjadi terdakwa atau terpidana kasus korupsi, seharusnya ia tahu diri
untuk tidak mencalonkan lagi di masa yang akan datang.
Sebenarnya, ada
puluhan ribu kasus yang dilaporkan ke ICW. Saat ini karena keterbatasan sumber
daya, memang tidak semua kasus tersebut dapat diungkap. Seharusnya usaha ICW
ini mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat karena korupsi seperti
sebuah wabah penyakit yang banyak memakan korban, bukannya malah menjadikan ICW
sebagai sebuah musuh bersama. Karena, siapakah orang yang dengan senang hati
melawan sebuah organisasi pergerakan anti korupsi? Ya tentunya para koruptor
dan pendukungnya.
Puncak, Bogor, 3 Juli
2013 pukul 12:12
Hesti Farida Al
Bastari
Penulis adalah salah satu peserta Sekolah Anti
Korupsi ICW - 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar