Jadi
setelah memasuki tahun pernikahan keenam, kami kangen untuk pergi
nonton bioskop berdua seperti ketika masih pengantin baru. Kebetulan,
ada suatu momen dimana suami saya mengambil cuti dan kami pun siang
itu berjalan mencari film bagus berikutnya yang hendak kami nikmati.
Kami tertarik untuk menyaksikan film Sokola Rimba, selain karena selalu mengikuti kisah Butet Manurung dan kontribusinya mengajar Anak Rimba di pedalaman Jambi, pembuat filmnya Miles Productions dengan duet Mira Lesmana dan Riri Riza selalu menjadi jaminan film bermutu bagi kami. Meski awalnya kami agak meragukan Prisia Nasution sebagai pemeran Butet Manurung dalam film tersebut, dan berharap Mira Lesmana menemukan aktris lain yang lebih mirip dengan Butet.
Kami tertarik untuk menyaksikan film Sokola Rimba, selain karena selalu mengikuti kisah Butet Manurung dan kontribusinya mengajar Anak Rimba di pedalaman Jambi, pembuat filmnya Miles Productions dengan duet Mira Lesmana dan Riri Riza selalu menjadi jaminan film bermutu bagi kami. Meski awalnya kami agak meragukan Prisia Nasution sebagai pemeran Butet Manurung dalam film tersebut, dan berharap Mira Lesmana menemukan aktris lain yang lebih mirip dengan Butet.
Saya nyatanya dibuat terpaku sepanjang film tersebut. Beberapa adegan di film ini
berhasil membuat saya menangis. Saat seorang Anak Rimba dikejar oleh
penebang hutan liar, dan satu lagi saat mendapati bahwa setiap orang
darimanapun asalnya, dan berapa pun umurnya, berhak mendapatkan
pendidikan yang layak demi masa depannya kelak. Prisia dengan fasihnya menghayati perannya sebagai sosok Butet yang berdedikasi pada pendidikan Anak Rimba.
Di
dalam film ini, Nyungsang Bungo, Anak Rimba dari Rombong Makekal Hulu, bertemu dengan Butet Manurung dan ingin
diajari baca tulis, agar ia dapat membaca surat perjanjian yang
diberikan oleh orang 'kota' dan ternyata surat itu menjadi pembenaran
untuk pengambilan hak rombong mereka atas hutan tempat mereka
tinggal. Hutan mereka sedikit demi sedikit diambil hanya berdasarkan secarik kertas yang ditukar dengan kain dan makanan.
Bungo membawa
surat itu kemana-mana dengan harapan agar ada orang yang mau
mengajarinya membaca. Padahal, rombong Bungo melarang keras bagi
anak-anaknya untuk bisa baca tulis, karena kemampuan membaca dan
menulis itu bisa membawa bala bagi rombong tersebut. Misalnya,
mendatangkan penyakit atau salah satu dari mereka meninggal.
Dalam
sebuah adegan dimana Bungo berjuang keras agar dapat membaca, saya
menangis untuk kesekian kalinya. Saya kemudian berpikir, apa gunanya
tes IQ yang diberikan oleh para ahli, sebagai dasar untuk menilai
apakah seseorang itu 'pintar' atau 'bodoh', namun tingginya IQ
seseorang tidak serta merta menjadikan dirinya menghargai lingkungan
sekitarnya seperti yang dilakukan Orang Rimba.
Beberapa kali saya
menemui rekan-rekan yang mengaku Pencinta Alam, mendaki bukit dan
mencintai alam namun malah mencemari hutan perawan yang mestinya
mereka jaga. Mungkin benar apa yang diyakini oleh Rombong Makekal
Hulu, bahwa kemampuan baca tulis membawa bala. Karena yang kemudian
menjajah mereka secara semena-mena adalah kita yang memiliki
kemampuan baca tulis.
Coba
sekarang apa gunanya kemampuan yang kita miliki sekarang bila kita
tidak bisa bertahan hidup di alam liar? Apakah sudah ada IQ yang
mengukur bagaimana kepandaian seseorang bertahan di alam, teknik
memanjat pohon, memilih mana tanaman yang beracun dan yang bisa
dimakan, serta memilih mana tanaman yang bisa ditebang dan mana yang
tidak? Dan apa gunanya kita yang mengaku ber-IQ tinggi ini, bahkan
mungkin dapat dikategorikan sebagai orang jenius, namun menjadi tidak
berdaya bila kita suatu ketika sendirian di luar sana? Sungguh, lebih
luhurlah mereka yang hidup dengan mendekat kepada alam.
Saya
pun menjadi lebih sering tersenyum mendengarkan bagaimana teman-teman
saya bercerita bahwa segala sesuatu yang mereka lakukan harus
berdasarkan kepada apa yang disebut riset. Saya masih percaya bahwa
pada suatu ketika, leluhur kita memiliki pengetahuan tersendiri
mengenai bagaimana hidup serasi dengan alam. Inilah apa yang disebut
dengan kearifan lokal yang kerap kita abaikan karena merasa bahwa itu
hanyalah apa kata orang tua.
Bungo menceritakan betapa piawainya
Orang Rimba memanjat pohon madu dan dengan teknik yang mereka punya,
mereka mengambil madu yang mereka butuhkan seperlunya. Hal ini sama
seperti yang pernah saya dengar dari suami saya, ketika ia pergi ke
Kampung Naga di Garut, dimana di sana terdapat Hutan Larangan yang
pohonnya tidak boleh ditebang. Dan rupanya hutan tersebut adalah
penyangga bagi kampung mereka agar tetap aman dari bahaya banjir dan
serangan badai.
Kalau
saya diberikan kesempatan belajar lebih jauh, saya ingin belajar dari
para leluhur, cara mereka bertahan hidup dan amalan amalan yang
mereka punya. Kerap kali saya terkagum-kagum dengan kerendahan hati
mereka. Sama seperti kerendahan hati Orang Rimba dan ketulusan yang
mereka berikan kepada setiap orang baru, yang dengan kejamnya kita
manfaatkan untuk mengeksploitasi sumber daya yang mereka punya. Ya,
kita, orang terpelajar yang serta merta datang ke suatu tempat dan
bicara banyak dengan dalih modernisasi.
Depok,
30 Januari 2014
@hestialbastari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar