Malam
ini (28/3) saya mendengarkan pidato kebudayaan “Membela dengan
Sastra” dari seorang yang karyanya sangat saya kagumi, yaitu
sastrawan Ahmad Tohari, secara langsung melalui radio yang direkam
dari gedung PBNU Jakarta. Saya sempat melewatkan beberapa bagian
pidatonya, namun sebagian isinya, sebelum lupa, hendak saya tuliskan
di sini.
Ahmad
Tohari bercerita tentang seorang manusia yang menjadi penghuni
neraka. Ia bertanya kepada Tuhan, mengapa ia sampai masuk neraka.
Tuhan menjawab, ia masuk neraka karena tidak pernah menjenguk
tetangganya yang sedang sakit.
Hal
ini sebenarnya erat terkait dengan bagaimana seseorang bisa merasa
tidak apa-apa sementara ada tetangganya yang sedang sakit. “Sakit”,
dalam hal ini, bukan sekedar sakit tubuh, tapi mereka yang termasuk
kaum miskin, dan mereka yang tertindas. Di sinilah letak perenungan
kita agar berbuat sesuatu dan memperjuangkan sesuatu demi mereka yang
tertindas. Ahmad Tohari, berjuang dengan karya sastranya.
Sastrawan
ini mengungkapkan, karya sastra hanya bisa dilahirkan oleh mereka
yang lebih dulu telah cukup membaca. Di Kitab Suci Al Qur'an,
perintah pertama yang diturunkan adalah perintah membaca. Apa yang
dibaca? Adalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.
“Manusia diperintahkan membaca seluruh ciptaan yang ada di langit
dan ada di bumi. Tidak ada kesia-siaan dari penciptaan setiap
makhluk. Semua membaca tanda-tanda kebesarannya.”
Itulah
sebabnya kita perlu bersikap arif dalam menyikapi segala sesuatu.
Semua makhluk, baik yang baik dan buruk, membawa tanda-tanda
kebesaran Allah. Pada saat melihat orang baik, manusia diberikan
kesadaran untuk menirunya. Dan saat melihat orang yang munkar,
manusia diberikan kesadaran untuk menolaknya. Bahkan Ahmad Tohari
mengajarkan kita untuk melakukan pembacaan yang ikhlas atas
benda-benda yang dianggap kotor, bahwa di benda yang paling kotor
sekalipun, dengan menggunakan mikroskop terdapat kehidupan makhluk
ciptaan Tuhan bernama bakteri dalam sebuah tinja manusia.
Ilham
ini memberikan inspirasi bagi Ahmad Tohari untuk menulis novel
Ronggeng Dukuh Paruk. Saat ia selesai menulisnya di tahun 1984,
masyarakat bertanya kepadanya untuk menggugat, mengapa tulisan yang
dipilih adalah dunia ronggeng yang terlibat PKI? Ronggeng Dukuh Paruk
berkisah tentang kehidupan seorang ronggeng yang dituduh terlibat
dalam pemberontakan PKI. Ronggeng dan PKI saat itu adalah kajian di
luar wilayah kesantrian, dan menjadi isu sensitif di era Suharto.
Ronggeng adalah perempuan penari kesenian tradisi yang mengumbar
birahi, dan ajaran para santri adalah mencegah orang untuk masuk ke
dalam kehidupan seorang ronggeng.
Akan
tetapi, sejak masih ingusan dan ikut tahlilan, Ahmad Tohari yang
berasal dari masyarakat NU selalu mendengar kajian, bahwa “apa yang
ada di langit dan bumi kepunyaan Allah”. Perwujudan ronggeng pun,
berarti merupakan kepunyaan Allah, mengapa bisa sampai ada ronggeng?
Untuk
itu di dalam Islam pun diajarkan adanya empati. Empati berarti
pembelaan di balik keadaban terhadap amanat Tuhan. Dari situlah Ahmad
Tohari menulis tentang Ronggeng Dukuh Paruk.
Akibat
diterbitkannya novel ini, Ahmad Tohari diinterogasi oleh petugas dari
pemerintah Orde Baru karena dianggap sebagai simpatisan PKI, hal yang
paling dilarang pada masa itu. Sampai kemudian di hari kelima,
seorang petugas bertanya kepadanya, “adakah orang yang bisa
menjamin Sampeyan bukan simpatisan komunis?”. Hal itu memberikan
angin segar kepadanya. Ia lalu menuliskan alamat dan orang tersebut
di buku telepon, ditulislah: Abdurrahman Wahid.
Penasaran
dengan Ronggeng Dukuh Paruk yang kemudian dijadikan film oleh Ifa
Ifansyah dengan judul Sang Penari? Penasaran juga dengan karya Ahmad
Tohari yang lain? Boleh juga dibaca novel yang berjudul Orang-Orang
Proyek, yang merupakan novel Ahmad Tohari favorit saya karena rasanya
isi cerita novel tersebut masih relevan dengan kondisi saat ini. Mari
kita membela dengan sastra.
Depok,
29 Maret 2014 pukul 00.28
Hesti
Farida Al Bastari, penikmat sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar