Beberapa waktu yang lalu, seorang sepuh
menanyakan kepada saya melalui sms, perihal seorang calon hakim agung yang
berkelakar di hadapan anggota dewan yang terhormat, mengenai hukuman mati bagi
pemerkosa perempuan. Sepuh ini, tak habis pikir, bagaimana seorang calon hakim
agung dapat berpikir seperti itu. Bukankah seorang hakim itu adalah seorang
yang pintar? Seseorang dengan tingkat intelektual yang tinggi? Mengapa ia dapat
mengatakan bahwa "dalam pemerkosaan, yang memperkosa dan yang diperkosa
sama-sama menikmati"?
Perlu waktu lama dan keinginan untuk menggali
lagi teori psikoanalisa yang sempat saya tumpuk di rak-rak buku, untuk
menjelaskan fenomena ini. Ya menurut hemat saya, ungkapan yang kemudian oleh
calon hakim agung tersebut, dinyatakan sebagai candaan, merupakan pernyataan
yang dalam ilmu psikologi, tadinya
ada dalam tahap pre-consciousness.
Pernyataan yang letaknya tersembunyi di antara ketidaksadaran dan kesadaran
kita.
Dalam kondisi di bawah
tekanan, entah karena gugup atau kecemasan yang tinggi, seseorang bisa saja
mengungkapkan hal yang selama ini tersembunyi di ambang semi kesadarannya.
Bahasa sehari-hari kita terkadang menyebutnya dengan “keceplosan”, namun
kata-kata yang terungkap pertama kali saat kita sedang tertekan, bisa jadi
justru mengungkapkan rahasia yang berusaha kita tutupi baik-baik.
Tidak perlu menjadi
seorang Freudian untuk menyadari hal ini. Kita bisa jadi merasa tidak enak pada
saat mendengar seseorang mengungkapkan candaan yang membuat “panas kuping”
orang yang mendengarnya. Memelototi orang yang ketika latahnya mengeluarkan
kosakata berbagai jenis hewan yang ada di kebun binatang, atau bahkan alat
kelamin.
Yang menjadi sorotan
di sini adalah calon hakim agung ini menjadikan candaan mengenai perkosaan
sebagai sesuatu yang menurut dirinya layak untuk “membuat suasana jadi rileks”.
Lalu kembali muncul pertanyaan bagaimana seorang seperti dirinya bisa maju
menjadi seorang calon hakim agung? Tidak adakah lagi kandidat calon hakim agung
lainnya yang ada sehingga orang seperti dirinya bisa maju? Bagaimana pula proses
pemeriksaan psikologi para calon hakim agung ini?
Atau mungkin yang
menjadi kekhawatiran para pejuang perempuan adalah, jangan-jangan sudah biasa
ya topik mengenai kekerasan terhadap perempuan menjadi bahan perbincangan untuk
ditertawakan kaum lelaki?
Dan sekali lagi sambil
menunduk malu tanpa bisa menutup kuping, kita hanya bisa menjadikan ini bahan
renungan bersama.
Depok, 5 Maret 2013
Hesti Farida Al Bastari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar