Di Amerika Serikat dan negara lain seperti Jepang,
Belanda, dan Malaysia, hari Ibu atau Mother’s Day jatuh pada hari Minggu bulan
kedua Mei. Mereka memperingati hari dimana aktivis sosial Julia Ward Howe
mencanangkan pentingnya perempuan bersatu melawan perang saudara.
Di Indonesia, hari Ibu ditetapkan tanggal 22 Desember untuk
memperingati Kongres Perempuan Indonesia I tanggal 22-25 Desember 1928 di
gedung Dalem Jayadipuran, Yogyakarta. Kongres tersebut membentuk Kongres
Perempuan I yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dan
menjadi salah satu tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia.
Pada saat itu, para pemimpin perempuan berkumpul untuk memikirkan perjuangan
menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan.
Kongres Perempuan tersebut menggambarkan bahwa sejak awal
berdirinya bangsa ini, perempuan telah memiliki peranan yang sangat penting.
Bangsa kita tidak pernah mengalami kekurangan kaum perempuan yang terdidik.
Perempuan yang merupakan kaum Ibu berperan aktif dalam mengembangkan regulasi,
bahkan landasan negeri ini. Selain RA Kartini dan Dewi Sartika, sebutlah Mr. RA
Maria Ulfah Santoso, salah satu perempuan anggota BPUPKI dan menteri perempuan
pertama di Indonesia. Perempuan di Indonesia menorehkan sejarah tersendiri
dalam hal perjuangan bangsa ini, yang tidak dapat dibandingkan dengan bangsa
lain.
Tokoh-tokoh pergerakan kaum perempuan seperti RA Kartini
dan Dewi Sartika, memberikan sumbangan besarnya bagi pendidikan bangsa ini
dengan mendirikan sekolah bagi kaum perempuan. Selain Kartini, masih ada 11
orang pahlawan lainnya dalam catatan sejarah di antara 149 tokoh pahlawan
nasional yang berperan dalam pergerakan kebangsaan. Mungkin masih banyak lagi
goresan perjuangan kaum perempuan yang belum tercatat.
Meskipun Kartini memperjuangkan suara perempuan di awal
abad 20, bukan berarti sebelum itu perempuan Indonesia tidak memiliki peranan
yang signifikan. Dalam kaum adat, perempuan sudah memiliki peranan penting
bahkan sebagai pencari nafkah untuk rumah tangga. Suatu hal yang lazim bahwa
perempuan petani turut turun ke sawah untuk menanam padi.
Berbeda dengan sejarah kaum perempuan di Eropa yang
berjuang untuk mendapatkan kesetaraan gender, perempuan Indonesia memiliki
posisi tersendiri di masyarakat. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang professor
dari Kent University Inggris, C.W. Watson dalam diskusi kumpulan cerpen “Wajah
Terakhir” bertajuk “Politik, Perempuan, dan Kesalehan”, tanggal 8 Oktober 2011 di
Universitas Padjadjaran, bahwa perempuan di Indonesia lebih percaya diri
daripada perempuan Eropa.
Sayangnya, makna hari Ibu di Indonesia saat ini disederhanakan
secara simbolis dengan sekedar membebaskan kaum Ibu dari pekerjaan domestik
(rumah tangga). Padahal hari Ibu semestinya tidak hanya menjadi suatu momen
dimana para perempuan dapat dibebaskan dari segala pekerjaan domestik, namun
juga dapat menjadi suatu kesempatan dimana kaum perempuan setidaknya dapat
lebih terlibat dalam arus pendidikan, pembangunan, dan politik bangsa ini.
Apapun status yang dilekatkan pada seorang perempuan,
apakah ia seorang lulusan sekolah dasar atau bergelar doktor, bekerja di sawah,
menjadi pembantu rumah tangga atau menjadi direktur bank terkemuka, perempuan
adalah seorang Ibu bagi anak-anaknya.
Pondasi bangsa terletak di rumah, sehingga sudah
selayaknya kalau pemerintah kembali memperhatikan pendidikan bagi kaum
perempuan, agar terdapat jaminan bahwa perempuan-perempuan Indonesia adalah
para pendidik yang baik bagi penerus bangsanya. Pengetahuan mengenai bagaimana
merawat dan mengasuh anak, serta pengetahuan dasar untuk mengurus rumah tangga,
selayaknya menjadi bekal bagi kaum perempuan sejak mereka duduk di bangku
sekolah.
Seorang ibu yang kurang berpendidikan sekalipun, akan merasakan
bangga bila anaknya sukses dalam pendidikan. Agar sukses, diperlukan pola asuh
yang baik, penanaman dasar mengenai kebangsaan dan pendidikan moral ditanamkan
sejak dini dari lingkungan rumah. Oleh karena itu, dengan semangat hari Ibu
kali ini sudah selayaknya kita meninjau kembali bagaimana bangsa kita
mempersiapkan perempuan sebagai calon Ibu melalui pendidikan.
Sebuah majalah nasional setiap tahunnya bahkan memberikan
penghargaan bagi para perempuan yang dianggap berprestasi di bidang
pekerjaannya. Sayangnya, belum ada penghargaan bagi para perempuan yang berada
di belakang para laki-laki. Kaum ibu dan para isteri. Atau misalnya untuk Ibu
Rumah Tangga terbaik.
Apabila Presiden Soekarno merupakan pahlawan revolusi,
siapakah perempuan yang paling berharga yang ada di balik kesuksesannya? Sementara
telah ada penghargaan bagi perempuan-perempuan di balik para pemimpin Amerika,
kita juga paling mengetahui bahwa para perempuan di balik para petinggi
Republik Indonesia, bukan sekedar perempuan biasa.
Lalu mengapa perempuan Indonesia saat ini masih merasa
perlu untuk diperjuangkan kesetaraannya? Menjadi sama dengan kaum laki-laki?
Dalam banyak hal, perempuan memang berbeda dengan laki-laki. Penelitian
mengenai otak perempuan baru-baru ini oleh Louann Brizendine dalam The Female
Brain, menegaskan hal itu. Fungsi-fungsi otak dan psikologis perempuan
menunjukkan bahwa perempuan lebih unggul dari laki-laki dalam hal melakukan
banyak pekerjaan dalam satu waktu.
Perempuan dapat serta merta menjadi seorang istri, ibu,
juga mengerjakan sesuatu di rumah untuk menambah penghasilan rumah tangga, atau
bekerja di kantor sebagai seorang karyawati. Sedangkan laki-laki, akan lebih
fokus untuk mengerjakan satu hal dalam satu waktu, sehingga akan sulit membagi
perhatiannya dengan yang lain. Laki-laki hanya dapat di satu tempat menjadi
seorang ayah, lalu pergi ke kantor menjadi seorang pekerja, dan menjadi seorang
suami di waktu yang berbeda.
Implikasinya adalah ketika seorang laki-laki ditanyakan
apakah perempuan yang dinikahinya boleh mengerjakan hal lain selain bekerja di
rumah, jika ia menggunakan sudut pandangnya sebagai laki-laki, maka ia tidak
akan mengizinkannya.
Dalam pandangan umumnya kaum laki-laki, seseorang hanya
dapat fokus mengerjakan suatu hal pada satu waktu. Begitu pun perempuan dalam
pandangan laki-laki. Padahal sebenarnya, perempuan memiliki potensi lebih besar
karena memiliki kemampuan multitasking,
mengerjakan berbagai hal dan semuanya akan selesai.
Mungkin karena setelah sekian puluh tahun semenjak
berdirinya negara ini, dunia telah menjadi milik kaum laki-laki. Hukum dan
peraturan yang dibentuk untuk negara, segala ketentuan yang berlaku beserta
sanksi-sanksinya, ditujukan untuk kaum laki-laki. Bahkan penelitian-penelitian
terdahulu serta sistem pendidikan saat ini, masih bersifat sangat laki-laki.
Tak heran, karena saat perang kemerdekaan lebih banyak
lelaki yang dikirim ke medan perang, maka kaum lelaki merasa lebih berperan
menjadi pendiri bangsa. Dimanakah posisi perempuan selain sebagai pendukung di
belakang layar?
Kemajuan bagi para perempuan yang dirasakan saat ini juga
masih terasa semu. Penilaian untuk para perempuan yang dapat hadir di ruang
publik masih dilihat dari tampilan luarnya saja. Perempuan menjadi berusaha
dengan segala cara agar dapat tampil menarik sehingga dapat diterima di
masyarakat.
Perempuan yang sedang berjuang untuk meraih kesetaraan,
kembali terjerumus menjadi korban industri kosmetik dan fashion. Hal tersebut menjadi
tidak adil mengingat betapa mudahnya lelaki masuk kursi eksekutif maupun legislatif,
terlepas dari penampilan yang dimilikinya.
Tapi sekali lagi perempuan dengan sifat kebijaksanaannya
tidak melihat bahwa kekuasaan adalah hal yang penting, cukuplah baginya dapat
menjadi pendidik bagi generasi penerusnya. Memastikan bahwa bangsa ini akan
menjadi lebih baik di masa yang akan datang, yang memberikan jaminan bahwa
keturunannya akan mendapatkan hidup yang layak. Perempuan dapat memilih untuk
menjadi pendidik bagi anak-anaknya, ditambah menjadi pendidik bagi bangsanya.
Lebih jauh lagi, sebenarnya bukan perempuan yang butuh
untuk terjun ke ruang publik. Namun ruang publik-lah yang memerlukan perempuan.
Ada banyak bidang profesi dan ruang publik yang membutuhkan sentuhan perempuan.
Politik akan menjadi lebih manis bila ada perempuan,
dengan adanya kepekaan sosial yang dapat menyentuh hati masyarakat yang sangat
khas dimiliki oleh kaum perempuan. Pembangunan dengan adanya perempuan akan
meningkatkan cita rasa seni dan keindahan. Resolusi konflik pun akan menjadi
berbeda penanganannya bila terdapat campur tangan perempuan.
Oleh karena perempuan
dapat masuk ke dalam segala aspek kehidupan, maka perlu adanya ruang-ruang yang
diadaptasi untuk perempuan kembali berada di dalamnya.
Hesti
Farida Al Bastari, S.Psi., tinggal di Depok
ditulis pada tanggal 22 Desember 2011, dalam rangka memperingati Kongres Perempuan Indonesia I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar