Judul Buku: Talaga Malihwarni: Antologi Carpon Sasatoan
Pengarang: Aam Amilia
Tahun Terbit: 2012
Jumlah Halaman: xiv + 74 hlm
ISBN: 978-602-7813-02-1
Penerbit: Syabas Books
“Nya kumaha deui atuh ari geus papastén mah. Bagja dituang ku manusa
mah. Komo ieu ku nu tas ibadah puasa. Da éta téh mahluk Gusti nu pangmulyana,
kapan. Hég dunungan urang mah sanajan sangsara gé tara aral subaha. Saroléh
salabar. Nya mending dibakakak batan ku cekak,” cék si Jago. Hurik tungkul.
(halaman 51)
Demikian sepenggalan paragraf
dari cerpen Opor Hayam, salah satu
dari tujuh cerpen yang terdapat dalam antologi cerpen sasatoan, Talaga Malihwarni.
Hurik merasa melang (khawatir) karena
majikannya tidak memiliki lauk untuk dimasak di hari Lebaran. Sempat terjadi
perdebatan apakah mereka akan memotong Hurik atau tidak. Tapi perasaan melang Hurik bukan dikarenakan ia akan
dipotong, karena ia merasa ikhlas jika menjadi makanan manusia adalah suatu
kepastian baginya. Kekhawatirannya lebih disebabkan nasib anak-anaknya jika ia tinggalkan,
apakah si Jago akan merawat anak-anaknya dengan baik, dan bagaimana bila
anak-anaknya akan mencari dirinya.
Belo dalam Lamun Kuring Bisa Ngomong, meminta sahabatnya Paser mengalah dalam
pacuan kuda, agar Belo dapat menang. Kemenangannya itu bukan dimaksudkan untuk
dirinya sendiri, melainkan untuk majikannya yang butuh uang untuk operasi.
Paser enggan menanggapi permintaannya dan mengajaknya untuk tetap berjuang agar
bisa menang secara jantan.
Aam Amilia, sang penulis
memberikan penghayatan terhadap apa yang dirasakan oleh para sato (hewan), pada saat berinteraksi
dengan sosok makhluk Tuhan yang konon, paling mulia, yaitu manusia. Semakin dalam
penghayatan Aam, kita akan makin berefleksi pada diri sendiri dan mungkin malah
merasa ragu, benarkah manusia makhluk yang paling mulia? Jangan-jangan sato di sekeliling kita, yang tidak
dapat berbicara dengan bahasa kita, justru lebih humanis dibandingkan manusia,
yang kini semakin terjerumus dengan nafsu-nafsu kebinatangan?
Masih ada kisah lainnya yang
sangat layak menjadi bahan perenungan. Mawat merupakan saksi perbedaan kelas
dalam masyarakat manusia. Beo dan Swan menjadi saksi betapa palsunya wajah
manusia. Uncuing menertawakan tingkah laku manusia yang senantiasa takut akan
kematian, padahal kematian pasti terjadi. Sedangkan Eyang Wélangkoneng memperkenalkan nilai-nilai pengorbanan kepada kita,
sebagai orang tua yang senantiasa berkorban demi melestarikan keturunannya.
Gambaran sato oleh Aam membuat kita menggali kembali sisi-sisi manusiawi
dalam diri kita yang jangan-jangan malah sudah lama kita lupakan. Semuanya
dituliskan Aam dalam perbendaharaan kata Sunda yang kaya akan makna.
Hesti Farida Al Bastari
Resensi dimuat di harian Jurnal Bogor pada hari Minggu, 3 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar