Jumat, 04 Januari 2013

Perempuan Dalam Beragam Dimensi

Judul Buku : WAJAH TERAKHIR: KUMPULAN CERITA
Penulis : MONA SYLVIANA
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 1, 2011
Tebal : 152 halaman

Deskripsi tentang perempuan, dan perasaan perempuan, itulah yang saya tangkap setelah membaca sebagian cerpen dari kumpulan cerpen Mona Sylviana, Wajah Terakhir. Secara keseluruhan,perempuanlah yang berperan sebagai tokoh utama dari kumpulan cerpen Mona kali ini.


Mona menggambarkan perempuan dari berbagai sudut pandang, dari mereka yang mungkin kita anggap sebagai orang biasa dalam keseharian kita, atau bahkan mereka yang tidak biasa kita temui. Apa yang dialami dan dirasakan oleh tiga belas orang perempuan yang menjadi tokoh utama dari cerpen Mona, di antaranya Nadin, Ningsih, Garwa, saya dalam Ba(o)rok, Teja, atau saya dalam Suara Tua, bisa saja kita alami dan dapati dalam diri kita.

Sebagai seorang perempuan, saya sempat turut dapat merasakan apa yang dialami oleh Garwa, dalam cerpen Kereta Api Malam, ketika ia naik kereta api malam seorang diri, mengamati lekat‐lekat orang di sekitarnya dengan perasaan ngeri, dan mulai berimajinasi. Apalagi ketika mengingat bagaimana di rumahnya, sang suami yang berselingkuh, tidak meninggalkan uang belanja, dan malah berharap dari uang beasiswa anaknya, kemudian menuntut makanan mesti tersedia meja.

Rasa kasihan menyeruak dalam diri saya. Akan tetapi, ketika kemudian dihadapkan pada kenyataan bahwa Garwa, perempuan yang sangat patut dikasihani itu, menyuguhi suaminya dengan bahan makanan yang tidak pernah dibayangkan, sontak saya melawan. Rasa jijik menggeliat dalam diri saya membayangkan apa yang dilakukan oleh Garwa. Saya bukan Garwa, kata saya, padahal awalnya saya sudah sempat bersimpati dan menempatkan diri saya pada posisi seandainya‐saya‐menjadi seorang Garwa.

Kisah Maria, dalam cerpen Wajah Terakhir, korban perkosaan kerusuhan 1998, yang kemudian dalam diamnya membantu menjadi penerjemah orang yang dulu menjadi pemerkosanya. Kita disuguhi dengan akhir cerita yang menantang versi Mona, apakah Maria berniat menjadi penerjemah itu sekedar membantu, atau malah membalas dendam kepada sang pemerkosa? Atau satu cerita lagi, kisah tokoh saya dalam Aroma Mesiu, perlawanan seorang perempuan dalam diam terhadap tokoh bernama Dopis.

Ya, itulah perempuan. Dalam satu titik paling lemah dalam hidupnya, perempuan masih dapat melakukan perlawanan, yang mungkin ditakuti oleh laki‐laki, sehingga dalam dunia laki‐laki dewasa ini, banyak pintu yang ditutup bagi perempuan yang ingin menjadi pemimpin laki-laki. Perempuan memiliki dua wajah, bahkan dalam deritanya, perempuan dapat menjadi bengis, keji dan sadis. Dalam cerpen‐cerpennya,

Mona menyelipkan beberapa fakta yang membuat kita ingin mencari tahu informasi itu lebih banyak lagi. Mona sebagai penulis perempuan, dengan jelinya menyisipkan fakta‐fakta bahwa banyak hal yang bahkan dalam diamnya seorang perempuan yang menjadi tokoh, ia tetap jeli ingin menggali informasi sebanyak mungkin mengenai lingkungannya.

Sebagai penulis, Mona piawai memerankan dirinya menjadi seorang anak yang mengalami trauma terhadap KDRT, menjadi ibu, bahkan menjadi sebagian dirinya yang dengan centil disisipkan di kumpulan cerpen ini dalam cerpen Tangan yang Melambai.

Di cerpen ini, saya membayangkan menjadi Mona yang seorang penulis, dan bahkan sempat tergelitik untuk meresapi pengalaman keseharian Mona dalam mencari inspirasi. Perasaan ingin tenggelam dalam dunianya sendiri, tapi tetap ingin mengetahui informasi seluas-luasnya mengenai yang terjadi di sekitarnya yang-sangat perempuan. Ketertarikan Mona pada tokoh Simbah. Namun, sekali lagi saya terlontar pada kenyataan bahwa tokoh Mona dalam cerpen tersebut membiarkan dirinya melihat Simbah terlalap api.

Saya mendapati adanya pola yang sama dalam cerpen‐cerpen Mona. Mona dengan lincah menggambarkan bahwa ada shadow yang terdapat pada diri setiap orang, dalam hal ini perempuan. Suatu ketika di masa lalu, psikolog klasik Carl Gustav Jung mengungkapkan mengenai adanya shadow. Saat dihadapkan pada masalah, kita terkadang menginginkan suatu hal buruk terjadi pada orang yang melakukan penindasan terhadap kita. Kita tidak menyadarinya, tetapi pasti mengakui bahwa keinginan itu ada di alam bawah sadar kita.

Mona, dalam kumpulan cerpen Wajah Terakhir‐nya, mengangkat shadow itu ke permukaan. Saat tidak diberikan nafkah, dikhianati, dan terus dituntut untuk menjadi istri yang baik, Garwa memberikan 'menu spesial' untuk Agus. Saat hanya dipandang sebelah mata oleh Dopis, tokoh saya dalam Aroma Mesiu memberontak dengan membawa seorang laki‐laki asing ke kamarnya, sehingga Dopis mengacungkan senapan kepada dirinya. Mona mengungkapkan perlawanan dalam diam para perempuan, dengan gaya penulisannya yang ekspresif. Hal ini mungkin karena Mona sangat menyelami perasaan para perempuan.

Dan di sisi lain, masih ada cerita yang membuat kita semakin menaruh belas kasihan pada perempuan yang tidak biasa, misalnya dalam cerpen Mata Marza. Bingkai-bingkai potret Mona, dan perbendaharaan kata Mona yang kaya, membuat kita akan terus penasaran untuk menyelami pengalaman-menjadi-perempuan, dalam kumpulan cerpen ini.

Hesti Farida Al Bastari, S.Psi, pengamat buku

dimuat di Koran Jakarta, 23 September 2011, http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/72002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar