Selasa, 05 Maret 2013

Hanya Bercanda



Beberapa waktu yang lalu, seorang sepuh menanyakan kepada saya melalui sms, perihal seorang calon hakim agung yang berkelakar di hadapan anggota dewan yang terhormat, mengenai hukuman mati bagi pemerkosa perempuan. Sepuh ini, tak habis pikir, bagaimana seorang calon hakim agung dapat berpikir seperti itu. Bukankah seorang hakim itu adalah seorang yang pintar? Seseorang dengan tingkat intelektual yang tinggi? Mengapa ia dapat mengatakan bahwa "dalam pemerkosaan, yang memperkosa dan yang diperkosa sama-sama menikmati"?


Perlu waktu lama dan keinginan untuk menggali lagi teori psikoanalisa yang sempat saya tumpuk di rak-rak buku, untuk menjelaskan fenomena ini. Ya menurut hemat saya, ungkapan yang kemudian oleh calon hakim agung tersebut, dinyatakan sebagai candaan, merupakan pernyataan yang dalam ilmu psikologi, tadinya ada dalam tahap pre-consciousness. Pernyataan yang letaknya tersembunyi di antara ketidaksadaran dan kesadaran kita. 

Dalam kondisi di bawah tekanan, entah karena gugup atau kecemasan yang tinggi, seseorang bisa saja mengungkapkan hal yang selama ini tersembunyi di ambang semi kesadarannya. Bahasa sehari-hari kita terkadang menyebutnya dengan “keceplosan”, namun kata-kata yang terungkap pertama kali saat kita sedang tertekan, bisa jadi justru mengungkapkan rahasia yang berusaha kita tutupi baik-baik.

Tidak perlu menjadi seorang Freudian untuk menyadari hal ini. Kita bisa jadi merasa tidak enak pada saat mendengar seseorang mengungkapkan candaan yang membuat “panas kuping” orang yang mendengarnya. Memelototi orang yang ketika latahnya mengeluarkan kosakata berbagai jenis hewan yang ada di kebun binatang, atau bahkan alat kelamin.

Yang menjadi sorotan di sini adalah calon hakim agung ini menjadikan candaan mengenai perkosaan sebagai sesuatu yang menurut dirinya layak untuk “membuat suasana jadi rileks”. Lalu kembali muncul pertanyaan bagaimana seorang seperti dirinya bisa maju menjadi seorang calon hakim agung? Tidak adakah lagi kandidat calon hakim agung lainnya yang ada sehingga orang seperti dirinya bisa maju? Bagaimana pula proses pemeriksaan psikologi para calon hakim agung ini? 

Atau mungkin yang menjadi kekhawatiran para pejuang perempuan adalah, jangan-jangan sudah biasa ya topik mengenai kekerasan terhadap perempuan menjadi bahan perbincangan untuk ditertawakan kaum lelaki?

Dan sekali lagi sambil menunduk malu tanpa bisa menutup kuping, kita hanya bisa menjadikan ini bahan renungan bersama.

Depok, 5 Maret 2013
Hesti Farida Al Bastari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar