Senin, 04 Maret 2013

Resensi Talaga Malihwarni

Judul Buku: Talaga Malihwarni: Antologi Carpon Sasatoan
Pengarang: Aam Amilia
Tahun Terbit: 2012
Jumlah Halaman: xiv + 74 hlm
ISBN: 978-602-7813-02-1
Penerbit: Syabas Books

 “Nya kumaha deui atuh ari geus papastén mah. Bagja dituang ku manusa mah. Komo ieu ku nu tas ibadah puasa. Da éta téh mahluk Gusti nu pangmulyana, kapan. Hég dunungan urang mah sanajan sangsara gé tara aral subaha. Saroléh salabar. Nya mending dibakakak batan ku cekak,” cék si Jago. Hurik tungkul. (halaman 51)

Demikian sepenggalan paragraf dari cerpen Opor Hayam, salah satu dari tujuh cerpen yang terdapat dalam antologi cerpen sasatoan, Talaga Malihwarni. Hurik merasa melang (khawatir) karena majikannya tidak memiliki lauk untuk dimasak di hari Lebaran. Sempat terjadi perdebatan apakah mereka akan memotong Hurik atau tidak. Tapi perasaan melang Hurik bukan dikarenakan ia akan dipotong, karena ia merasa ikhlas jika menjadi makanan manusia adalah suatu kepastian baginya. Kekhawatirannya lebih disebabkan nasib anak-anaknya jika ia tinggalkan, apakah si Jago akan merawat anak-anaknya dengan baik, dan bagaimana bila anak-anaknya akan mencari dirinya.


Belo dalam Lamun Kuring Bisa Ngomong, meminta sahabatnya Paser mengalah dalam pacuan kuda, agar Belo dapat menang. Kemenangannya itu bukan dimaksudkan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk majikannya yang butuh uang untuk operasi. Paser enggan menanggapi permintaannya dan mengajaknya untuk tetap berjuang agar bisa menang secara jantan.

Aam Amilia, sang penulis memberikan penghayatan terhadap apa yang dirasakan oleh para sato (hewan), pada saat berinteraksi dengan sosok makhluk Tuhan yang konon, paling mulia, yaitu manusia. Semakin dalam penghayatan Aam, kita akan makin berefleksi pada diri sendiri dan mungkin malah merasa ragu, benarkah manusia makhluk yang paling mulia? Jangan-jangan sato di sekeliling kita, yang tidak dapat berbicara dengan bahasa kita, justru lebih humanis dibandingkan manusia, yang kini semakin terjerumus dengan nafsu-nafsu kebinatangan?

Masih ada kisah lainnya yang sangat layak menjadi bahan perenungan. Mawat merupakan saksi perbedaan kelas dalam masyarakat manusia. Beo dan Swan menjadi saksi betapa palsunya wajah manusia. Uncuing menertawakan tingkah laku manusia yang senantiasa takut akan kematian, padahal kematian pasti terjadi. Sedangkan Eyang Wélangkoneng memperkenalkan nilai-nilai pengorbanan kepada kita, sebagai orang tua yang senantiasa berkorban demi melestarikan keturunannya.

Gambaran sato oleh Aam membuat kita menggali kembali sisi-sisi manusiawi dalam diri kita yang jangan-jangan malah sudah lama kita lupakan. Semuanya dituliskan Aam dalam perbendaharaan kata Sunda yang kaya akan makna.

Hesti Farida Al Bastari

Resensi dimuat di harian Jurnal Bogor pada hari Minggu, 3 Maret 2013 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar