Selasa, 05 Maret 2013

Hari Perempuan

Pada tanggal 22 Desember 2011, menjelang gempitanya perayaan libur akhir tahun, bangsa Indonesia menyambut hari yang ditujukan untuk kaum Ibu. Di luar negeri, khususnya sebagian negara Eropa dan Timur Tengah, hari Ibu dirayakan pada bulan Maret, akibat pengaruh kebiasaan memuja Dewi Rhea, ibu para dewa dalam sejarah Yunani kuno.  
Di Amerika Serikat dan negara lain seperti Jepang, Belanda, dan Malaysia, hari Ibu atau Mother’s Day jatuh pada hari Minggu bulan kedua Mei. Mereka memperingati hari dimana aktivis sosial Julia Ward Howe mencanangkan pentingnya perempuan bersatu melawan perang saudara. 


Di Indonesia, hari Ibu ditetapkan tanggal 22 Desember untuk memperingati Kongres Perempuan Indonesia I tanggal 22-25 Desember 1928 di gedung Dalem Jayadipuran, Yogyakarta. Kongres tersebut membentuk Kongres Perempuan I yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dan menjadi salah satu tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia. Pada saat itu, para pemimpin perempuan berkumpul untuk memikirkan perjuangan menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan.
Kongres Perempuan tersebut menggambarkan bahwa sejak awal berdirinya bangsa ini, perempuan telah memiliki peranan yang sangat penting. 

Bangsa kita tidak pernah mengalami kekurangan kaum perempuan yang terdidik. Perempuan yang merupakan kaum Ibu berperan aktif dalam mengembangkan regulasi, bahkan landasan negeri ini. Selain RA Kartini dan Dewi Sartika, sebutlah Mr. RA Maria Ulfah Santoso, salah satu perempuan anggota BPUPKI dan menteri perempuan pertama di Indonesia. Perempuan di Indonesia menorehkan sejarah tersendiri dalam hal perjuangan bangsa ini, yang tidak dapat dibandingkan dengan bangsa lain. 

Tokoh-tokoh pergerakan kaum perempuan seperti RA Kartini dan Dewi Sartika, memberikan sumbangan besarnya bagi pendidikan bangsa ini dengan mendirikan sekolah bagi kaum perempuan. Selain Kartini, masih ada 11 orang pahlawan lainnya dalam catatan sejarah di antara 149 tokoh pahlawan nasional yang berperan dalam pergerakan kebangsaan. Mungkin masih banyak lagi goresan perjuangan kaum perempuan yang belum tercatat. 

Meskipun Kartini memperjuangkan suara perempuan di awal abad 20, bukan berarti sebelum itu perempuan Indonesia tidak memiliki peranan yang signifikan. Dalam kaum adat, perempuan sudah memiliki peranan penting bahkan sebagai pencari nafkah untuk rumah tangga. Suatu hal yang lazim bahwa perempuan petani turut turun ke sawah untuk menanam padi. 

Berbeda dengan sejarah kaum perempuan di Eropa yang berjuang untuk mendapatkan kesetaraan gender, perempuan Indonesia memiliki posisi tersendiri di masyarakat. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang professor dari Kent University Inggris, C.W. Watson dalam diskusi kumpulan cerpen “Wajah Terakhir” bertajuk “Politik, Perempuan, dan Kesalehan”, tanggal 8 Oktober 2011 di Universitas Padjadjaran, bahwa perempuan di Indonesia lebih percaya diri daripada perempuan Eropa.

Sayangnya, makna hari Ibu di Indonesia saat ini disederhanakan secara simbolis dengan sekedar membebaskan kaum Ibu dari pekerjaan domestik (rumah tangga). Padahal hari Ibu semestinya tidak hanya menjadi suatu momen dimana para perempuan dapat dibebaskan dari segala pekerjaan domestik, namun juga dapat menjadi suatu kesempatan dimana kaum perempuan setidaknya dapat lebih terlibat dalam arus pendidikan, pembangunan, dan politik bangsa ini.

Apapun status yang dilekatkan pada seorang perempuan, apakah ia seorang lulusan sekolah dasar atau bergelar doktor, bekerja di sawah, menjadi pembantu rumah tangga atau menjadi direktur bank terkemuka, perempuan adalah seorang Ibu bagi anak-anaknya. 

Pondasi bangsa terletak di rumah, sehingga sudah selayaknya kalau pemerintah kembali memperhatikan pendidikan bagi kaum perempuan, agar terdapat jaminan bahwa perempuan-perempuan Indonesia adalah para pendidik yang baik bagi penerus bangsanya. Pengetahuan mengenai bagaimana merawat dan mengasuh anak, serta pengetahuan dasar untuk mengurus rumah tangga, selayaknya menjadi bekal bagi kaum perempuan sejak mereka duduk di bangku sekolah.

Seorang ibu yang kurang berpendidikan sekalipun, akan merasakan bangga bila anaknya sukses dalam pendidikan. Agar sukses, diperlukan pola asuh yang baik, penanaman dasar mengenai kebangsaan dan pendidikan moral ditanamkan sejak dini dari lingkungan rumah. Oleh karena itu, dengan semangat hari Ibu kali ini sudah selayaknya kita meninjau kembali bagaimana bangsa kita mempersiapkan perempuan sebagai calon Ibu melalui pendidikan.

Sebuah majalah nasional setiap tahunnya bahkan memberikan penghargaan bagi para perempuan yang dianggap berprestasi di bidang pekerjaannya. Sayangnya, belum ada penghargaan bagi para perempuan yang berada di belakang para laki-laki. Kaum ibu dan para isteri. Atau misalnya untuk Ibu Rumah Tangga terbaik. 

Apabila Presiden Soekarno merupakan pahlawan revolusi, siapakah perempuan yang paling berharga yang ada di balik kesuksesannya? Sementara telah ada penghargaan bagi perempuan-perempuan di balik para pemimpin Amerika, kita juga paling mengetahui bahwa para perempuan di balik para petinggi Republik Indonesia, bukan sekedar perempuan biasa.
Lalu mengapa perempuan Indonesia saat ini masih merasa perlu untuk diperjuangkan kesetaraannya? Menjadi sama dengan kaum laki-laki? 

Dalam banyak hal, perempuan memang berbeda dengan laki-laki. Penelitian mengenai otak perempuan baru-baru ini oleh Louann Brizendine dalam The Female Brain, menegaskan hal itu. Fungsi-fungsi otak dan psikologis perempuan menunjukkan bahwa perempuan lebih unggul dari laki-laki dalam hal melakukan banyak pekerjaan dalam satu waktu.

Perempuan dapat serta merta menjadi seorang istri, ibu, juga mengerjakan sesuatu di rumah untuk menambah penghasilan rumah tangga, atau bekerja di kantor sebagai seorang karyawati. Sedangkan laki-laki, akan lebih fokus untuk mengerjakan satu hal dalam satu waktu, sehingga akan sulit membagi perhatiannya dengan yang lain. Laki-laki hanya dapat di satu tempat menjadi seorang ayah, lalu pergi ke kantor menjadi seorang pekerja, dan menjadi seorang suami di waktu yang berbeda.

Implikasinya adalah ketika seorang laki-laki ditanyakan apakah perempuan yang dinikahinya boleh mengerjakan hal lain selain bekerja di rumah, jika ia menggunakan sudut pandangnya sebagai laki-laki, maka ia tidak akan mengizinkannya.

Dalam pandangan umumnya kaum laki-laki, seseorang hanya dapat fokus mengerjakan suatu hal pada satu waktu. Begitu pun perempuan dalam pandangan laki-laki. Padahal sebenarnya, perempuan memiliki potensi lebih besar karena memiliki kemampuan multitasking, mengerjakan berbagai hal dan semuanya akan selesai.

Mungkin karena setelah sekian puluh tahun semenjak berdirinya negara ini, dunia telah menjadi milik kaum laki-laki. Hukum dan peraturan yang dibentuk untuk negara, segala ketentuan yang berlaku beserta sanksi-sanksinya, ditujukan untuk kaum laki-laki. Bahkan penelitian-penelitian terdahulu serta sistem pendidikan saat ini, masih bersifat sangat laki-laki.
Tak heran, karena saat perang kemerdekaan lebih banyak lelaki yang dikirim ke medan perang, maka kaum lelaki merasa lebih berperan menjadi pendiri bangsa. Dimanakah posisi perempuan selain sebagai pendukung di belakang layar?

Kemajuan bagi para perempuan yang dirasakan saat ini juga masih terasa semu. Penilaian untuk para perempuan yang dapat hadir di ruang publik masih dilihat dari tampilan luarnya saja. Perempuan menjadi berusaha dengan segala cara agar dapat tampil menarik sehingga dapat diterima di masyarakat.

Perempuan yang sedang berjuang untuk meraih kesetaraan, kembali terjerumus menjadi korban industri kosmetik dan fashion. Hal tersebut menjadi tidak adil mengingat betapa mudahnya lelaki masuk kursi eksekutif maupun legislatif, terlepas dari penampilan yang dimilikinya.

Tapi sekali lagi perempuan dengan sifat kebijaksanaannya tidak melihat bahwa kekuasaan adalah hal yang penting, cukuplah baginya dapat menjadi pendidik bagi generasi penerusnya. Memastikan bahwa bangsa ini akan menjadi lebih baik di masa yang akan datang, yang memberikan jaminan bahwa keturunannya akan mendapatkan hidup yang layak. Perempuan dapat memilih untuk menjadi pendidik bagi anak-anaknya, ditambah menjadi pendidik bagi bangsanya.

Lebih jauh lagi, sebenarnya bukan perempuan yang butuh untuk terjun ke ruang publik. Namun ruang publik-lah yang memerlukan perempuan. Ada banyak bidang profesi dan ruang publik yang membutuhkan sentuhan perempuan.

Politik akan menjadi lebih manis bila ada perempuan, dengan adanya kepekaan sosial yang dapat menyentuh hati masyarakat yang sangat khas dimiliki oleh kaum perempuan. Pembangunan dengan adanya perempuan akan meningkatkan cita rasa seni dan keindahan. Resolusi konflik pun akan menjadi berbeda penanganannya bila terdapat campur tangan perempuan.

Oleh karena perempuan dapat masuk ke dalam segala aspek kehidupan, maka perlu adanya ruang-ruang yang diadaptasi untuk perempuan kembali berada di dalamnya.

Hesti Farida Al Bastari, S.Psi., tinggal di Depok

ditulis pada tanggal 22 Desember 2011, dalam rangka memperingati Kongres Perempuan Indonesia I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar