Selasa, 11 Februari 2014

Bung Karno: Sisi Lain

Beberapa saat yang lalu saya menemukan buku Soekarno dan Kesayangannya karya Guntur Soekarno Putra, cetakan pertama tahun 1981, dijual di akun fesbuk Lawang Buku Beranda. Sontak saya teringat dengan karya Guntur, alias Mas Tok, yang telah lebih dahulu saya baca sewaktu kecil, yaitu Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku. Tak ambil waktu lagi, tentulah langsung saya pesan buku Soekarno dan Kesayangannya itu. Hanya dalam beberapa hari buku tersebut sudah sampai ke tangan saya dengan selamat.




Buku yang sampai kepada saya adalah buku lawas dan tampaknya merupakan koleksi milik seseorang yang tidak mencantumkan namanya di buku tersebut. Wah kalau ini buku saya, pasti sudah saya namai agar tidak diklaim sebagai hak milik orang. Atau minimal diberikan cap seperti koleksi buku Taman Bacaan Bastari lainnya, hahaha... Seri tulisan Guntur sebelum ini, yang judulnya telah saya sebutkan, tentunya saat ini sedang bertengger manis di Taman Bacaan Bastari Samarinda, adalah koleksi ayah saya.


Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku menceritakan kisah Presiden Pertama RI, Ir.Soekarno dari sudut pandang putra pertamanya, Guntur. Membacanya pertama kali, saat saya berusia 10 tahun, membuat saya memiliki imajinasi berbeda tentang sosok proklamator RI itu. Sebagaimana anak perempuan lainnya di usia itu, saya mengidolakan ayah saya. Begitulah yang saya tangkap dari tulisan Guntur. Saya masih ingat beberapa cerita Guntur tentang koleksi lukisan ayahnya, hubungan ayah dan ibunya, serta suatu tempat di sudut Istana Negara tempat Bung Karno kebelet pipis, hehehe... Guntur menuliskan semua itu dan mengemasnya dalam cerita yang unik, lucu, dan mudah diingat. Bahkan oleh anak seumur saya waktu itu.

Begitulah kesan yang saya tangkap saat saya tahu-tahu menemukan Soekarno dan Kesayangannya. Kesan dari buku Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku sangat melekat. Kini saya membaca karya Guntur lagi setelah saya sendiri punya tiga orang anak dan dua di antaranya adalah laki-laki. Oh dan kali ini saya membaca karya Guntur bukan lagi dari sudut pandang seorang anak yang mengidolakan ayahnya, tetapi dari sudut pandang orang tua yang menertawakan kenakalan anaknya.

Beberapa kali saya dibuat ngakak oleh cerita Guntur. Saat ia dengan diam-diam "meminjam" bolpoin ayahnya, hingga ketahuan gurunya dan dihukum disuruh menulis 100 kali. Sambil diam-diam saya berpikir, hukuman seperti itu masih ada nggak ya, buat anak sekarang? Kalau tidak, bagaimana ya guru sekarang memberikan arahan agar anak muridnya lebih bisa diatur? Atau cerita saat Bung Karno menyukai madu Arab dan mengirimkan buah-buahan Indonesia di saat bukan musimnya kurma berbuah, agar Sahabat Pemimpin Arabnya balik mengirimkan madu, dan bukannya kurma. Dan masih banyak lagi kisah hal-hal yang disayangi oleh Bung Karno, yang diceritakan oleh Guntur di buku ini.

Buku ini menjadi favorit saya dan tidak seperti buku lainnya, saya bisa menyelesaikan buku ini hanya dalam hitungan jam. Bagian demi bagian cerita Guntur membuat saya penasaran dengan apa cerita Guntur selanjutnya yang dapat memikat hati saya. Harapan saya, semoga saya bisa bertemu langsung dengan penulisnya, putra pertama dari orang yang memberikan inspirasi bagi banyak orang di seluruh dunia.

Depok, 12 Februari 2014

@hestialbastari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar