Kamis, 30 Januari 2014

Belajar dari Leluhur



Jadi setelah memasuki tahun pernikahan keenam, kami kangen untuk pergi nonton bioskop berdua seperti ketika masih pengantin baru. Kebetulan, ada suatu momen dimana suami saya mengambil cuti dan kami pun siang itu berjalan mencari film bagus berikutnya yang hendak kami nikmati. 

Kami tertarik untuk menyaksikan film Sokola Rimba, selain karena selalu mengikuti kisah Butet Manurung dan kontribusinya mengajar Anak Rimba di pedalaman Jambi, pembuat filmnya Miles Productions dengan duet Mira Lesmana dan Riri Riza selalu menjadi jaminan film bermutu bagi kami. Meski awalnya kami agak meragukan Prisia Nasution sebagai pemeran Butet Manurung dalam film tersebut, dan berharap Mira Lesmana menemukan aktris lain yang lebih mirip dengan Butet.


Saya nyatanya dibuat terpaku sepanjang film tersebut. Beberapa adegan di film ini berhasil membuat saya menangis. Saat seorang Anak Rimba dikejar oleh penebang hutan liar, dan satu lagi saat mendapati bahwa setiap orang darimanapun asalnya, dan berapa pun umurnya, berhak mendapatkan pendidikan yang layak demi masa depannya kelak. Prisia dengan fasihnya menghayati perannya sebagai sosok Butet yang berdedikasi pada pendidikan Anak Rimba.

Di dalam film ini, Nyungsang Bungo, Anak Rimba dari Rombong Makekal Hulu, bertemu dengan Butet Manurung dan ingin diajari baca tulis, agar ia dapat membaca surat perjanjian yang diberikan oleh orang 'kota' dan ternyata surat itu menjadi pembenaran untuk pengambilan hak rombong mereka atas hutan tempat mereka tinggal. Hutan mereka sedikit demi sedikit diambil hanya berdasarkan secarik kertas yang ditukar dengan kain dan makanan. 

Bungo membawa surat itu kemana-mana dengan harapan agar ada orang yang mau mengajarinya membaca. Padahal, rombong Bungo melarang keras bagi anak-anaknya untuk bisa baca tulis, karena kemampuan membaca dan menulis itu bisa membawa bala bagi rombong tersebut. Misalnya, mendatangkan penyakit atau salah satu dari mereka meninggal.

Dalam sebuah adegan dimana Bungo berjuang keras agar dapat membaca, saya menangis untuk kesekian kalinya. Saya kemudian berpikir, apa gunanya tes IQ yang diberikan oleh para ahli, sebagai dasar untuk menilai apakah seseorang itu 'pintar' atau 'bodoh', namun tingginya IQ seseorang tidak serta merta menjadikan dirinya menghargai lingkungan sekitarnya seperti yang dilakukan Orang Rimba. 

Beberapa kali saya menemui rekan-rekan yang mengaku Pencinta Alam, mendaki bukit dan mencintai alam namun malah mencemari hutan perawan yang mestinya mereka jaga. Mungkin benar apa yang diyakini oleh Rombong Makekal Hulu, bahwa kemampuan baca tulis membawa bala. Karena yang kemudian menjajah mereka secara semena-mena adalah kita yang memiliki kemampuan baca tulis.

Coba sekarang apa gunanya kemampuan yang kita miliki sekarang bila kita tidak bisa bertahan hidup di alam liar? Apakah sudah ada IQ yang mengukur bagaimana kepandaian seseorang bertahan di alam, teknik memanjat pohon, memilih mana tanaman yang beracun dan yang bisa dimakan, serta memilih mana tanaman yang bisa ditebang dan mana yang tidak? Dan apa gunanya kita yang mengaku ber-IQ tinggi ini, bahkan mungkin dapat dikategorikan sebagai orang jenius, namun menjadi tidak berdaya bila kita suatu ketika sendirian di luar sana? Sungguh, lebih luhurlah mereka yang hidup dengan mendekat kepada alam.

Saya pun menjadi lebih sering tersenyum mendengarkan bagaimana teman-teman saya bercerita bahwa segala sesuatu yang mereka lakukan harus berdasarkan kepada apa yang disebut riset. Saya masih percaya bahwa pada suatu ketika, leluhur kita memiliki pengetahuan tersendiri mengenai bagaimana hidup serasi dengan alam. Inilah apa yang disebut dengan kearifan lokal yang kerap kita abaikan karena merasa bahwa itu hanyalah apa kata orang tua. 

Bungo menceritakan betapa piawainya Orang Rimba memanjat pohon madu dan dengan teknik yang mereka punya, mereka mengambil madu yang mereka butuhkan seperlunya. Hal ini sama seperti yang pernah saya dengar dari suami saya, ketika ia pergi ke Kampung Naga di Garut, dimana di sana terdapat Hutan Larangan yang pohonnya tidak boleh ditebang. Dan rupanya hutan tersebut adalah penyangga bagi kampung mereka agar tetap aman dari bahaya banjir dan serangan badai.

Kalau saya diberikan kesempatan belajar lebih jauh, saya ingin belajar dari para leluhur, cara mereka bertahan hidup dan amalan amalan yang mereka punya. Kerap kali saya terkagum-kagum dengan kerendahan hati mereka. Sama seperti kerendahan hati Orang Rimba dan ketulusan yang mereka berikan kepada setiap orang baru, yang dengan kejamnya kita manfaatkan untuk mengeksploitasi sumber daya yang mereka punya. Ya, kita, orang terpelajar yang serta merta datang ke suatu tempat dan bicara banyak dengan dalih modernisasi.

Depok, 30 Januari 2014

@hestialbastari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar