Jumat, 28 Maret 2014

Perjuangan dengan Pena


Malam ini (28/3) saya mendengarkan pidato kebudayaan “Membela dengan Sastra” dari seorang yang karyanya sangat saya kagumi, yaitu sastrawan Ahmad Tohari, secara langsung melalui radio yang direkam dari gedung PBNU Jakarta. Saya sempat melewatkan beberapa bagian pidatonya, namun sebagian isinya, sebelum lupa, hendak saya tuliskan di sini.


Ahmad Tohari bercerita tentang seorang manusia yang menjadi penghuni neraka. Ia bertanya kepada Tuhan, mengapa ia sampai masuk neraka. Tuhan menjawab, ia masuk neraka karena tidak pernah menjenguk tetangganya yang sedang sakit.

Hal ini sebenarnya erat terkait dengan bagaimana seseorang bisa merasa tidak apa-apa sementara ada tetangganya yang sedang sakit. “Sakit”, dalam hal ini, bukan sekedar sakit tubuh, tapi mereka yang termasuk kaum miskin, dan mereka yang tertindas. Di sinilah letak perenungan kita agar berbuat sesuatu dan memperjuangkan sesuatu demi mereka yang tertindas. Ahmad Tohari, berjuang dengan karya sastranya.

Sastrawan ini mengungkapkan, karya sastra hanya bisa dilahirkan oleh mereka yang lebih dulu telah cukup membaca. Di Kitab Suci Al Qur'an, perintah pertama yang diturunkan adalah perintah membaca. Apa yang dibaca? Adalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. “Manusia diperintahkan membaca seluruh ciptaan yang ada di langit dan ada di bumi. Tidak ada kesia-siaan dari penciptaan setiap makhluk. Semua membaca tanda-tanda kebesarannya.”

Itulah sebabnya kita perlu bersikap arif dalam menyikapi segala sesuatu. Semua makhluk, baik yang baik dan buruk, membawa tanda-tanda kebesaran Allah. Pada saat melihat orang baik, manusia diberikan kesadaran untuk menirunya. Dan saat melihat orang yang munkar, manusia diberikan kesadaran untuk menolaknya. Bahkan Ahmad Tohari mengajarkan kita untuk melakukan pembacaan yang ikhlas atas benda-benda yang dianggap kotor, bahwa di benda yang paling kotor sekalipun, dengan menggunakan mikroskop terdapat kehidupan makhluk ciptaan Tuhan bernama bakteri dalam sebuah tinja manusia.

Ilham ini memberikan inspirasi bagi Ahmad Tohari untuk menulis novel Ronggeng Dukuh Paruk. Saat ia selesai menulisnya di tahun 1984, masyarakat bertanya kepadanya untuk menggugat, mengapa tulisan yang dipilih adalah dunia ronggeng yang terlibat PKI? Ronggeng Dukuh Paruk berkisah tentang kehidupan seorang ronggeng yang dituduh terlibat dalam pemberontakan PKI. Ronggeng dan PKI saat itu adalah kajian di luar wilayah kesantrian, dan menjadi isu sensitif di era Suharto. Ronggeng adalah perempuan penari kesenian tradisi yang mengumbar birahi, dan ajaran para santri adalah mencegah orang untuk masuk ke dalam kehidupan seorang ronggeng.

Akan tetapi, sejak masih ingusan dan ikut tahlilan, Ahmad Tohari yang berasal dari masyarakat NU selalu mendengar kajian, bahwa “apa yang ada di langit dan bumi kepunyaan Allah”. Perwujudan ronggeng pun, berarti merupakan kepunyaan Allah, mengapa bisa sampai ada ronggeng?

Untuk itu di dalam Islam pun diajarkan adanya empati. Empati berarti pembelaan di balik keadaban terhadap amanat Tuhan. Dari situlah Ahmad Tohari menulis tentang Ronggeng Dukuh Paruk.

Akibat diterbitkannya novel ini, Ahmad Tohari diinterogasi oleh petugas dari pemerintah Orde Baru karena dianggap sebagai simpatisan PKI, hal yang paling dilarang pada masa itu. Sampai kemudian di hari kelima, seorang petugas bertanya kepadanya, “adakah orang yang bisa menjamin Sampeyan bukan simpatisan komunis?”. Hal itu memberikan angin segar kepadanya. Ia lalu menuliskan alamat dan orang tersebut di buku telepon, ditulislah: Abdurrahman Wahid.

Penasaran dengan Ronggeng Dukuh Paruk yang kemudian dijadikan film oleh Ifa Ifansyah dengan judul Sang Penari? Penasaran juga dengan karya Ahmad Tohari yang lain? Boleh juga dibaca novel yang berjudul Orang-Orang Proyek, yang merupakan novel Ahmad Tohari favorit saya karena rasanya isi cerita novel tersebut masih relevan dengan kondisi saat ini. Mari kita membela dengan sastra.

Depok, 29 Maret 2014 pukul 00.28

Hesti Farida Al Bastari, penikmat sastra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar