Kamis, 23 Januari 2014

Tentang Ponsel Pintar

Di pagi menjelang subuh ini saya sempatkan untuk membuat tulisan di lapak yang tidak sempat saya isi selama beberapa waktu. Apakah saya menghilang? Tidak juga. Pada kenyataannya saya masih di sini saja. Akhir-akhir ini saya lebih sering menggunakan gadget saya untuk menulis dan memperbarui status di fesbuk ataupun mengintip twit terbaru teman-teman atau orang-orang yang saya kagumi.

Nah jadi ceritanya saya ingin berbagi bagaimana kemudian saya mulai merasa bahwa memiliki ponsel pintar yang lebih pintar dari saya ini, bisa membuat saya menjadi lebih banyak tahu. Segala hal yang ingin saya ketahui, hanya tinggal saya sentuh di ujung jari saya. Dengan bantuan simbah suhu eyang Google tentunya. Saya bisa menghubungi kembali teman lama saya, sejak SMP, SMA, kuliah, dan bahkan mencari peluang bisnis dan oh, hal yang terakhir ini tentunya yang paling saya sukai, karena jumlah relasi saya terus bertambah dengan fitur media sosial baru bernama Whatsapp.



Tapi kemudian mulailah saya merasakan adiksi alias kecanduan yang aneh dengan benda bernama ponsel pintar ini. Kemudian pada suatu malam saya menemani suami saya menyaksikan salah satu tayangan favoritnya, The Simpsons, yang selalu sarat akan kritik sosial.

Di seri itu, dikisahkan bahwa Homer mendapatkan hadiah undian yaitu sebuah Ipad, dan dengan senang hati ia membawanya kemana-mana. Homer merasa bahwa Ipad itu adalah solusi dari semua masalahnya. Ia membawanya ke kamar tidur, ke tempat kerja, saat mengasuh anak, menjelang makan, dan bahkan berekreasi. Itu semua membuatnya menjadi sosok yang lebih menyebalkan bagi keluarganya.

Ya, di Ipad itu ada game yang dapat mencandu, dapat menenangkan anaknya yang sedang gelisah, ada e-book yang bisa dibaca seperti dongeng sebelum tidur, resep masakan untuk Marge, apapun yang Homer butuhkan. Sampai suatu ketika Ipad itu rusak.

Apa yang terjadi? Homer menjadi sangat bersedih. Namun setelah itu, ia kembali ke gaya hidupnya yang lama, sebelum ada Ipad. Kembali bersosialisasi, mau membantu istrinya, pergi ke bar (karena memang kebiasaan bapak-bapak di sana pergi ke bar sepulang kerja), memperhatikan anak-anaknya.

Nah lalu saya pun mengaitkan cerita Homer dengan cerita saya di dunia nyata. Saya merasa sangat terbantu dengan ponsel pintar saya. Bahkan surat elektronik dari rekan kerja pun bisa saya baca melalui ponsel pintar. Tapi, kemudian saya menyadari bahwa ponsel pintar tidak membantu saya menjadi lebih produktif dalam menulis.

Setiap kali ada ide melintas di kepala saya, saya tidak serta merta mengetiknya di ponsel pintar saya, karena menulis dengan layar sentuh untuk tulisan berisi beberapa paragraf sangat tidak nyaman bagi saya. Walhasil, ide-ide itu menguap begitu saja.

Akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke cara konvensional. Menggunakan notes untuk mencatat ide-ide yang bermunculan di kepala saya. Kemudian kembali menjadikan kegiatan membuka laptop sebagai sebuah rutinitas. Karena setiap kali membuka laptop, semua peer pekerjaan saya yang bertumpuk pastinya harus saya selesaikan. Dan salah satu peer saya itu, adalah menulis.

Depok, 24 Januari 2014 02:28

@hestialbastari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar